Bagi masyarakat Jakarta, polusi udara kerap menjadi sebuah duri dalam daging, menyakitkan tapi tidak bisa dipecahkan dengan mudah. Status Jakarta sebagai pusat ibukota dan ekonomi negara membuat populasi tumpah ruah yang berujung pada tingginya penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta.

Pada 8 Agustus 2019, Jakarta sempat dinobatkan sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia seperti dilansir dari Jakarta Post. Masyarakat menyuarakan keinginan mereka untuk perbaikan kualitas udara dengan meminta pemerintah untuk melakukan langkah perbaikan.

Namun, hal itu baru terjadi sekarang. Saat wabah COVID-19 terjadi di Indonesia, kualitas udara secara perlahan terus membaik. Tingkat polusi di Jakarta telah menurun secara drastis. Tidak hanya di Jakarta, tingkat polusi udara di dunia juga menurun terutama di China dan Italia.

Baca juga: Tren belanja di bulan Ramadhan 2020, apakah akan berubah karena COVID-19?

Menurunnya tingkat polusi udara di dunia dipengaruhi oleh regulasi work from home yang dianjurkan oleh WHO, dimana orang-orang beraktivitas di rumah sehingga, jalan sepi. Dengan begitu, tingkat penularan COVID-19 bisa menurun. Tentunya, hal ini berpengaruh bagi tingkat polusi udara di dunia.

Membaiknya kondisi bumi berkat menurunnya tingkat emisi karbon di dunia menjadi sebuah pertanyaan, apakah hal ini akan diteruskan mengingat, dampaknya sangat baik bagi bumi? Paper.id akan memamparkan penjelasan-penjelasan terkait hal ini.

Emisi karbon dan polusi udara menurun, kondisi bumi membaik

Tingkat emisi karbon di China menurun sebanyak 18% seperti dilansir dari National Geographic. Keadaan ini tidak hanya terjadi di China tapi di seluruh dunia. Eropa dan Amerika juga menghadapi hal yang sama dimana, emisi karbon menurun.

Akan tetapi, banyak pihak yang memprediksi bahwa tren ini akan bertahan dalam waktu yang sebentar. Menurut analisis Genscape, Adam Jordan, ia mengatakan bahwa tren ini hanya akan bersifat jangka pendek di negara-negara yang terpapar wabah virus COVID-19 seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Emisi karbon tidak hanya berasal dari industry manufaktur saja tapi juga dari penerbangan. Wabah COVID-19 ini juga membuat penerbangan internasional terganggu. Banyak hal harus ditunda demi mengurangi resiko penularan virus tersebut.

Efek positif yang terjadi ditengarai akan membawa perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk dunia bisnis. Rob Jackson selaku kepala dari Global Carbon Project menuturkan bahwa hal ini akan membawa perubahan yang besar terutama pada hal pekerjaan, karena orang-orang bisa melakukan meeting secara virtual.

Baca juga: (Wawancara) Bagaimana pelaku usaha untuk bangkit dan bertahan di tengah wabah COVID-19

Hal ini juga terjadi di banyak negara termasuk Indonesia. Dengan menurunnya tingkat polusi udara di kota-kota Indonesia, maka hal ini berakibat baik pada kondisi iklim bumi. Tentunya, bisa saja hal ini bisa memberikan perubahan besar terhadap dunia bisnis.

Jika perubahan sikap terjadi, apakah hal ini akan mempengaruhi kondisi bisnis?

Pertanyaan terbesar dari artikel ini adalah, apakah kondisi iklim akibat corona akan membuat pola para pebisnis dunia berubah secara total? Jawabannya, bisa iya dan tidak. Hal ini bergantung pada keputusan pemerintah dari masing-masing negara.

Setelah memutuskan untuk mengubah status lockdown pada Wuhan, kondisi ekonomi pada daerah tersebut secara perlahan mulai berjalan kembali. Selain itu, Presiden Xi Jinping sudah mengindikasikan bahwa pemerintah Tiongkok akan membuat paket stimulus untuk mendorong kembali perekonomian.

Dengan kata lain, hal ini bisa berakibat fatal pada kondisi iklim bumi. Pabrik batu bara sebagai salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia disinyalir bisa mengakibatkan kondisi bumi kembali memburuk. Dengan begitu, iklim yang membaik hanya bersifat sementara saja.

Jika sektor wisata kembali berfungsi, tentunya dunia penerbangan akan kembali normal. Bak pedang bermata dua, hal ini bisa bersifat positif dan negatif. Sisi positifnya adalah, dunia pariwisata Indonesia akan kembali normal. Tentunya, hal ini sangat baik karena, sektor wisata menjadi penyumbang devisa tertinggi bagi Indonesia pada 2019 seperti dilansir dari CNBC Indonesia.

Namun, hal tersebut juga bisa memberikan sisi negatif dimana, pasokan emisi karbon akan kembali memuncak. Sama dengan yang terjadi pada tahun 2008 dimana, kondisi iklim sempat membaik dan kembali memburuk setelah masa krisis telah lewat.

Hal ini bergantung kembali pada kebijakan dari masing-masing negara. Apakah mereka akan tetap memberlakukan kebijakan lama atau membuat kebijakan baru untuk perekonomian negara agar dapat mendongrak kembali keadaan ekonomi yang sempat memburuk pasca Corona tanpa mengorbankan kehidupan manusia dan bumi tempat tinggal kita.