Kegiatan penjualan dalam suatu perusahaan sangatlah penting karena, perusahaan dapat menghasilkan laba untuk membiayai kelangsungan dan perkembangan usaha. Dalam praktiknya, sering ditemukan masalah atau risiko kecurangan yang sering kali ditemukan di perusahaan manapun, baik itu perusahaan kecil menengah maupun perusahaan dalam skala besar sekalipun. 

Fraudulent atau kecurangan-kecurangan yang terjadi pun dapat berupa, pencurian atau penggelapan, pemalsuan, penipuan dan lain sebagainya. Dalam hal ini, dampak dari kecurangan tersebut tidak hanya berupa kerugian finansial, namun kerugian lainnya seperti hilangnya kepercayaan pihak eksternal (investor dan konsumen), rusaknya reputasi perusahaan, serta besarnya biaya investigasi bila perkara tersebut  dibawa ke dalam ranah hukum.

Fraudulent yang paling sering ditemukan dan kerap terjadi yaitu pada proses penjualan atau sales. Dalam alur proses penjualan, sales memiliki risiko lebih tinggi. Biasanya kecurangan yang dilakukan oleh sales yaitu dengan menjual barang yang tidak sesuai dengan jumlah yang tertera dalam faktur penjualan atau membuat orderan fiktif agar bisa mengeluarkan barang dari dalam gudang dengan tujuan setelah barang keluar, maka sales akan menjual barang tersebut kepada pihak lain dan uang dari hasil order fiktif tersebut tidak disetorkan ke perusahaan. 

Baca juga: Tips menghindari fraud yang rawan terjadi pada sale

Tidak hanya di sales, divisi lain juga bisa melakukan fraudulent

Tidak hanya dunia sales yang melakukan sales fiktif, terkadang banyak perusahaan pula yang melakukan skema penggelembungan pendapatan yang sering dilakukan oleh perusahaan yaitu fictitious revenue atau pendapatan fiktif. 

Hal itu dilakukan biasanya dengan membuat transaksi penjualan fiktif dan diperkuat dengan bukti transaksi serta penjurnalan secara fiktif pula. Skema ini memanfaatkan celah dalam accrual basis dimana dalam accrual basis, transaksi dapat dicatat tanpa kas atau setara kas berpindah tangan, yang terpenting adalah hak kepemilikan atau manfaat ekonomis telah berpindah tangan. 

Pada pendapatan dari hasil penjualan fiktif biasanya akan diakui sebagai penjualan secara kredit dan dicatat sebagai piutang usaha atau account receivable, karena memang dari awal transaksi tersebut memang sebenarnya tidak ada. Masalah yang timbul kemudian adalah bahwa setiap piutang usaha memiliki jatuh tempo. Apa yang dilakukan oleh pelaku fraudulent jenis ini ketika piutang usaha jatuh tempo? 

Baca juga: Peran field collection dan masalah yang dihadapi saat menagih

2 contoh fraudulent yang kerap terjadi dalam perusahaan

Cara pertama yaitu dengan membiarkan piutang tersebut tidak dibayar, sehingga dengan berjalannya waktu, lama kelamaan akan dijurnal ke dalam kerugian piutang tak tertagih (bad debt expense). Bila cara ini yang terjadi maka hasilnya yaitu pendapatan fiktif ditutup dengan kerugian piutang tak tertagih.

Keuntungan yang diperoleh perusahaan adalah dengan memanfaatkan periode pengakuan pendapatan. Perusahaan mengakui pendapatan fiktif dan kerugian piutang tak tertagih di periode tahun yang berbeda. Hal ini biasanya dilakukan untuk menutup kekurangan target penjualan yang terjadi  menjelang akhir periode.

Cara yang kedua yaitu perusahaan membuat transaksi penerimaan uang kas fiktif untuk membuat seakan-akan piutang tersebut tertagih. Perusahaan dapat membuat transfer dana dari rekening perusahaan atau owner atau relasi kepada rekening perusahaan dan menganggap transfer tersebut sebagai pelunasan piutang dari pelanggan. Cara ini disebut sebagai kiting. 

Kiting sulit dideteksi ketika perusahaan banyak melakukan transaksi bisnis dengan pelanggan retail kecil yang bentuk usahanya adalah perusahaan perseorangan. Perusahaan perseorangan tidak dapat membuat rekening giro dengan nama perusahaan, mereka membuat rekening giro atas nama pribadi. Celah ini dimanfaatkan pelaku fraud dengan mengakui transfer dari atas nama seseorang sebagai pelunasan piutang dari salah satu pelanggan retailnya.