Belajar bisnis bisa dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dari kisah perjalanan bisnis Tupperware, sebuah produsen wadah makan dan minum yang sering kita jumpai di segala aktivitas. Bahkan Tupperware menjadi salah satu bahan leluconan di Indonesia yang banyak dijadikan meme di media sosial. 

Tupperware menggunakan cara bisnis yang unik, yaitu dengan berinteraksi dengan komunitas ibu rumah tangga. Itu sebabnya, kita jarang melihat Tupperware dijual di supermarket maupun toko serba ada.

Namun sayang, perusahaan asal Amerika Serikat ini menghadapi masalah serius yang mengancam keberlangsungan mereka. Bahkan melansir CNN Indonesia, dalam setahun terakhir saham perusahaan menurun hingga 90%.

Lalu mengapa hal itu bisa terjadi, apakah ada yang salah dengan strategi yang diterapkan? Untuk mengetahuinya, mari kita belajar bisnis dari pengalaman Tupperware yang pernah jaya pada masanya hingga mengalami tantangan seperti sekarang ini. Simak hingga selesai!

Baca Juga: Kesalahan yang Sering Dilakukan Pebisnis Pemula dan Cara Mengatasinya

Awal Kehadiran Tupperware

Tupperware Corporation merupakan perusahaan multinasional dari Amerika Serikat yang didirikan oleh Earl Silas Tupper pada tahun 1946, dengan visi menghadirkan produk-produk inovatif dan berkualitas tinggi untuk konsumennya.

Produk andalan Tupperware adalah wadah penyimpanan plastik yang dirancang untuk menjaga makanan lebih tahan lama, yang disebut dengan “burping seal”. Teknologi ini memungkinkan Tupperware menjadi wadah yang kedap udara dan kedap air, sehingga tidak menimbulkan bau.

Tupperware sendiri mendapatkan popularitas yang besar pada tahun 1950-an dan 1960-an, dengan proses marketingnya melalui “Tupperware Parties”. Dalam acara ini, para konsultan menjual produk Tupperware langsung kepada konsumen di rumah-rumah dengan melakukan demonstrasi penggunaan produk dan memberikan tips & trik dalam penggunaannya

Dengan inovasi dan keunggulan produk yang dimilikinya, banyak yang tidak menyadari bahwa bisnis Tupperware ini sebetulnya masuk ke dalam model MLM (multi-level marketing). Bahkan, Tupperware tak segan memberikan potongan harga jika konsumen mendaftar menjadi membernya.

MLM sendiri merupakan strategi pemasaran yang melibatkan jaringan penjualan dengan beberapa tingkatan. Dimana sumber daya penjualnya yaitu sales tidak hanya menerima komisi atas penjualan pribadi mereka, tetapi juga dari penjualan yang dibuat oleh orang-orang yang mereka rekrut ke dalam jaringannya.

Tersebar di Banyak Negara

Brand yang satu ini sudah tersebar di hampir 70 negara melalui perwakilan independen di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sejak awal, penjualan Tupperware memang menerapkan strategi door to doorTupperware Parties”, yang dicetuskan langsung oleh Brownie Wise, wakil presiden marketing yang sukses membawa Tupperware se-populer sekarang.

Tupperware menjadi ikon bisnis jaringan pemasaran langsung, di mana penjualan produk dilakukan oleh distributor independen yang disebut dengan “Tupperware Consultants.

Di Indonesia, Tupperware dipasarkan pada tahun 1991 yang pertama kali didistribusikan oleh PT. Alif Rose Jakarta. Hingga brand ini berhasil memiliki jaringan pemasaran yang kuat dan terorganisir.

Sama halnya dengan pemasaran di luar negeri, di Indonesia sendiri Tupperware melakukan pemasaran langsung dan penjualan door to door. Hingga merekrut ribuan agen penjualan di seluruh Indonesia, yang dengan begitu produk Tupperware semakin mudah diakses oleh konsumen Indonesia, khususnya ibu rumah tangga.

Belajar Bisnis dari Strategi Marketing Tupperware

Tupperware menjadi salah satu brand peralatan dapur yang paling dikenal hampir di seluruh negara, termasuk Indonesia. Terdapat beberapa faktor yang membuat Tupperware berhasil mencapai kesuksesan ini, berikut faktor-faktornya.

1. Fokus pada kualitas dan inovasi produk

Melansir halaman Opportimes, Tupperware selalu berfokus pada kualitas dan inovasi produknya. Mereka terus mengembangkan produk baru yang cocok untuk konsumen dan menawarkan solusi unik untuk masalah sehari-hari.

Selain itu, Tupperware juga terus memperkenalkan berbagai fitur baru yang membuat produknya semakin mudah digunakan dan lebih tahan lama.

2. Ekspansi global yang tepat

Brand satu ini mulai berekspansi secara global pada tahun 1960-an. Mereka telah mengadaptasi strategi pemasaran dan penjualannya sesuai pasar lokal masing-masing negara dan membangun hubungan jangka panjang dengan para mitra bisnis di seluruh dunia.

3. Diversifikasi bisnis

Tupperware juga sukses melakukan diversifikasi bisnis dengan memperluas jangkauannya ke berbagai bidang. Misalnya, peralatan masak, produk kecantikan, hingga perlengkapan bayi.

Hal itu membantu perusahaan untuk terus tumbuh dan berkembang selama beberapa dekade terakhir.

Penyebab Redupnya Tupperware

Menurut informasi dari The Economic Times, Tupperware mengalami penjualan yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir setelah pandemi Covid-19, yang mana penjualan anjlok dari yang tadinya USD 500 juta pada awal kuartal keempat tahun 2020 menjadi hanya USD 313 juta pada kuartal keempat terakhir.

Hingga tahun 2022, total penjualan bersih adalah 1.305,6 juta, yang mana turun 18% jika dibandingkan tahun sebelumnya. Pada kuartal keempat, penjualan bersih sebesar USD 313,7 juta,  dengan kerugian dari operasionalnya sebesar USD 35,2 juta. Dengan pendapatan ini, di tahun 2022, Tupperware memiliki total utang USD 705,4 juta.

Setelah adanya penurunan margin keuntungan hingga perlambatan penjualan, banyak yang menilai bahwa Tupperware sudah tidak baik-baik saja. Bahkan, Tupperware dihadapkan pada persaingan yang semakin ketat di pasar dengan hadirnya brand-brand baru yang menawarkan produk serupa dengan harga yang lebih terjangkau.

Selain masalah tersebut, ada faktor lain yang menyebabkan Tupperware kian meredup. Berikut penyebabnya.

1. Perubahan model bisnis

Perubahan dalam cara konsumen berbelanja, terutama melalui e-commerce, telah membuat model bisnis jaringan pemasaran langsung seperti Tupperware semakin kehilangan popularitasnya. Model bisnis ini menjadi kurang relevan dalam era digital.

2. Kegagalan dalam branding produk

Tupperware mengalami kegagalan dalam melakukan branding produk secara efektif. Mereka kehilangan relevansi merek dan gagal menciptakan citra brand yang menarik bagi konsumen.

Oleh karenanya, Tupperware dianggap ketinggalan zaman dan tidak memiliki daya tarik bagi konsumen yang lebih muda.

3. Utang yang tinggi

Tupperware menghadapi masalah keuangan yang serius dengan utang yang tinggi. Utang ini menjadi beban berat yang mengurangi profitabilitas perusahaan.

4. Pengelolaan yang tidak efisien

Terdapat masalah dalam pengelolaan dan biaya operasional perusahaan, yang juga mempengaruhi kesehatan finansial Tupperware.

5. Tren kesehatan dan lingkungan

Masyarakat semakin peduli akan isu-isu kesehatan dan lingkungan. Ini telah memengaruhi preferensi konsumen, yang cenderung mencari produk ramah lingkungan dan bebas dari bahan kimia berbahaya seperti halnya plastik.

6. Kompetisi yang ketat

Pasar produk rumah tangga semakin bersaing dengan hadirnya merek-merek lain yang menawarkan produk serupa dengan harga yang lebih kompetitif. Kompetisi dari merek lain membuat Tupperware harus berjuang untuk mempertahankan pangsa pasar.

Meskipun Tupperware telah mencoba berbagai upaya perubahan untuk mengatasi masalah ini, perusahaan menghadapi tantangan besar dalam memulihkan kesehatan finansial mereka dan memulai kembali pertumbuhan bisnisnya.

Kemunduran Tupperware adalah contoh yang mengingatkan kita tentang pentingnya adaptasi dalam dunia bisnis yang selalu berubah, serta perlunya memahami perubahan dalam preferensi dan perilaku konsumen.

Baca Juga: 5 Peluang Bisnis Online yang Menjanjikan di Tahun 2024

Melihat perubahan Tupperware ini, bisa dikatakan bahwa tidak semua keputusan bisnis memberikan hasil baik untuk keberlangsungan perusahaan. Ada kalanya pemilik bisnis terlalu nyaman dengan mempertahankan cara lama hingga enggan melakukan adaptasi sesuai perkembangan zaman, bahkan berakibat fatal pada bisnis.

Untuk itu, kamu perlu mengambil langkah tepat agar terhindar dari hal buruk yang bisa saja terjadi dan mengancam keberlangsungan bisnis. Salah satunya dengan mulai menggunakan digital invoice

Alasannyaketika bisnis atau perusahaan kamu masih bergantung pada proses manual dalam operasinya, kemungkinan terjadi human error sangat tinggi. Tentu hal ini berpotensi merugikan perusahaan 

Nah, agar lebih mudah, kamu bisa menggunakan Paper.id dalam pembuatan hingga pengirimannya.

Paper.di adalah platform invoice yang bisa membuat dan kirim invoice digital dengan ringkas, cepat, dan mudah. Dokumen penagihan pembayaran ini pun sudah secara otomatis dibubuhi oleh e-materai sehingga legal dan sah di mata hukum.

Sangat menarik bukan? Yuk, gunakan Paper.id sekarang, gratis!

Nadiyah Rahmalia