107 juta pengguna menggunakan platform online untuk melakukan transaksi, setidaknya hal itu yang dilaporkan oleh statista.com sepanjang tahun 2018. Di tahun ini, jumlah pengguna dikabarkan akan semakin meningkat mengingat ‘diskon’ gila-gilaan yang ditawarkan masing-masing platform. Karena potensi besar itu, Menteri Keuangan Indonesia resmi mengeluarkan aturan pajak ecommerce.
“Pengaturan yang dimuat dalam PMK-210 ini semata-mata terkait tata cara dan prosedur pemajakan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional,” bunyi keterangan tertulis Direktorat Jenderal Pajak, Jumat malam (11/1/2019) seperti yang dikutip dari detik.com.
Dengan adanya aturan ini, setiap platform dan para pebisnis online yang terlibat di dalamnya akan diwajibkan membayar pajak. Regulasi ini mencakup semua pengusaha yang berbisnis daring, mulai dari yang memanfaatkan platform berbayar, ads bahkan hingga media sosial. Peraturan ketat diharapkan akan memberikan pemasukkan tambahan bagi pajak negara.
Baca Juga: Turun! Peraturan Pajak Terbaru Untungkan Pelaku UMKM
Aturan Pajak Ecommerce
Di dalam aturan pajak Ecommerce yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, ada tiga pihak yang dikenai beban pajak, yakni pengusaha yang berjualan di platform marketplace, marketplace itu sendiri dan pebisnis online yang berjualan melalui media lain (situs pribadi, media sosial dll).
Pengusaha yang Berjualan di Marketplace
a. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
b. Membayar PPh sebanyak 0,5% dari total omset penjualan yang tidak melebihi 4,8 miliar rupiah.
c. Membayar PKP jika omset penjualan melebih 4,8 miliar rupiah.
Pajak Marketplace
a. Memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP.
b. Menyetorkan PPh dan PPn sebagai pemberi layanan jasa.
c. Melaporkan rekapitulasi jumlah penjualan para pebisnis di marketplacenya.
Pebisnis Online di Luar Marketplace
Bagi para pebisnis online yang memanfaatkan media lain diluar ecommerce, tetap dikenakan kewajiban dalam membayar pajak PPN, PPh dan PPnBM dan akan mulai efektif berlaku pada April 2019 mendatang.
Baca Juga: Melihat Strategi Iklan Tokopedia yang Berbeda dari Marketplace Lainnya
Dampak Pajak Bisnis Online
Perputaran uang yang besar dari jual beli secara online memang merupakan ‘ladang’ tersendiri bagi para pemain (penjual). Akan tetapi, pajak yang diberikan oleh pemerintah dianggap banyak pebisnis online hanya akan memberatkan mereka dalam melakukan penjualan. Sebab, dengan ditambahkan pajak, biaya yang harus dikeluarkan pasti akan bertambah dan di sisi lain, minat konsumen bisa menurun.
Dampak yang pertama dari penambahan pajak adalah daya beli konsumen akan menurun. Sebelum ada pajak, para pebisnis online harus saling ‘bertarung’ dalam memberikan harga yang paling ekonomis. Kini, selain memikirkan tentang ‘persaingan harga’, mereka harus juga menimbang berapakah pajak yang harus dibayarkan. Mau tidak mau, menaikkan harga menjadi hal yang paling realistis untuk dilakukan.
Di sisi lain, dampak pajak bisnis online ditanggapi positif dengan penjual ritel offline. Sebab, penjual ritel offline meyakini dengan adanya pungutan wajib tersebut, daya beli masyarakat untuk membeli barang secara online akan menurun. Sebaliknya, para pebisnis yang memiliki toko fisik bisa kembali meraup untung. Memang, setiap kebijakan yang dibuat pasti akan meninggalkan sisi positif dan negatif, bukan?
Diikuti Negara Asia Tenggara
BMI Research mengatakan jika nilai ekonomi bisnis online di Asia Tenggara meningkat hingga dua kali lipat, dari yang sebelumnya 37,7 miliar menjadi 64,8 miliar. Hal tersebut membuat beberapa negara besar di kawasan tersebut mulai menerapkan, aturan pajak ecommerce. Selain menambahkan pemasukkan negara, pajak dimaksudkan agar para pebisnis offline mampu bersaing di tengah kemajuan teknologi yang cukup signifikan.
Thailand menjadi salah satu negara Asia Tenggara yang siap memberikan pajak bagi para pengusaha online. Penerapannya akan dilakukan dalam waktu dekat. Pihak terkait mengabarkan jika pemerintah yakin dapat meningkatkan pendapatan pajak mencapai 15% yang akan digunakan untuk membangun infrastruktur di daerah tertinggal. Hal tersebut tentunya sangat bagus untuk pertumbuhan Thailand di masa depan.
Selain Thailand, Singapura juga akan melakukan hal yang serupa. Pajak untuk para pebisnis online disebut-sebut sebagai langkah yang tepat untuk meningkatkan industri ritel di negeri Merlion tersebut. Bagaimana tidak, semenjak tren bisnis online mewabah, para turis hanya berjalan-jalan tanpa membeli oleh-oleh. Bahkan, pesona Orchard Road, sebagai surga belanja, perlahan-lahan mulai ikutan memudar lantaran perubahan cara belanja daring saat ini.
Cerita Amazon Hindari Pajak
Dengan nilai valuasi mencapai 1 triliun dollar, Amazon merupakan salah satu start up yang paling sukses sepanjang sejarah. Marketplace yang telah hadir sejak tahun 1995 tersebut juga membuat nama Jeff Bezos, sang pemilik, sebagai orang terkaya di dunia. Namun, di balik nilai valuasi dan profit besar yang didapatkan setiap tahunnya, siapa sangka jika Amazon memiliki ‘trik’ tersendiri untuk menghindari pembayaran pajak.
Singkatnya, markas besar Amazon ternyata bukanlah berada di Amerika Serikat melainkan Luxemburg. Karena kantor utama bukan berada di Amerika, Amazon tidak harus membayar pajak besar disana melainkan di Luxemburg. Sayangnya, kedok tersebut berhasil dicium oleh Uni Eropa yang mengatakan jika Luxemburg ‘melindungi’ Amazon dengan memberikan pajak yang lebih ringan.
Selain Amazon, Apple juga pernah melakukan ‘trik’ yang serupa demi menghindari pajak besar di Amerika Serikat. Perusahaan smartphone yang dipimpin oleh Tim Cook tersebut memiliki markas pusat yang berada di Irlandia. Kenapa di sana? sebab, negara tersebut ‘mengiming-imingi’ pembayaran pajak rendah yakni sekitar 1%. Padahal, perusahaan lainnya di sana harus membayar kewajibannya sebesar 12,5%.
Dari kedua cerita perusahaan besar tersebut dapat disimpulkan jika beban pajak memang akan memberikan dampak besar terhadap keseimbangan finansial. Oleh karena itu, jangan sampai kisah serupa terjadi kepada marketplace atau ecommerce yang ada di Indonesia lantaran tekanan pajak yang cukup berat.
Baca Juga: Jalan Panjang Bos Amazon Sebagai Orang Terkaya di Dunia
- Kelebihan dan Kekurangan Virtual Credit Card Dibandingkan Kartu Kredit Fisik - Oktober 3, 2024
- AP Automation Cost dan Dampaknya Dalam Mengurangi Anggaran Bisnis - September 24, 2024
- Cashback s.d Rp250 Ribu Dengan Visa Commercial Card! - September 20, 2024