Kenali berbagai jenis pajak perusahaan di Indonesia beserta tarif, fungsi, dan cara pengelolaannya agar bisnis kamu selalu patuh dan efisien.

Setiap bisnis di Indonesia, sekecil apa pun skalanya, punya kewajiban yang sama di mata negara: membayar pajak. Namun, di balik kewajiban itu, memahami jenis pajak perusahaan justru bisa membantu pemilik bisnis mengelola keuangan dengan lebih cerdas.

Dengan mengetahui jenis, tarif, dan mekanisme pelaporannya, kamu bisa mengatur cash flow, menghindari sanksi, sekaligus membangun bisnis yang lebih transparan dan siap berkembang.

Maka dari itu, yuk, simak penjelasan lengkap tentang jenis-jenis pajak yang wajib dipahami perusahaan di Indonesia berikut ini, disertai contoh dan praktiknya dalam kegiatan bisnis sehari-hari.

1. Pajak Penghasilan (PPh) Badan

PPh badan adalah pajak yang dikenakan atas laba bersih yang diperoleh perusahaan selama satu tahun pajak. Pajak ini berlaku untuk semua bentuk badan usaha seperti PT, CV, koperasi, atau yayasan.

Jenis pajak perusahaan ini penting karena mencerminkan kontribusi langsung perusahaan terhadap negara dan menjadi tolok ukur kinerja keuangan bisnis.

Tarifnya adalah sebagai berikut:

  • 22% dari laba bersih (berdasarkan UU HPP 2021).
  • Untuk UMKM dengan omzet ≤ Rp4,8 miliar/tahun, berlaku tarif PPh Final 0,5% dari omzet (PP No. 23 Tahun 2018).

Sebagai contoh, jika laba bersih perusahaan Rp500 juta, maka pajaknya adalah 0,5% dari nominal tersebut, yakni Rp110 juta. 

Untuk pembayarannya bisa dilakukan secara angsuran (PPh Pasal 25) dan disetorkan melalui DJP Online.

2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

PPh 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan karyawan, seperti gaji, tunjangan, atau bonus. Dalam kasus jenis pajak perusahaan ini, bisnis bertindak sebagai pemotong dan penyetor pajak atas nama karyawan.

Ketentuan tarifnya mengikuti tarif progresif orang pribadi (5%–35%), tergantung total penghasilan tahunan.

Pajak ini dilaporkan secara rutin setiap bulan melalui DJP Online.

Sebagai contoh, perhitungannya adalah sebagai berikut:

Misalnya, karyawan bergaji Rp10 juta per bulan, perusahaan akan memotong PPh sesuai lapisan tarif, lalu menyetorkannya sebelum tanggal 10 bulan berikutnya.

Dengan sistem payroll digital, semua proses ini kini bisa dilakukan otomatis, mulai dari perhitungan hingga pelaporan.

Baca Juga: Cara Membuat Faktur Pajak dengan Mudah dan Contoh Format

3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

Jenis pajak perusahaan ini merupakan pajak atas penghasilan yang diterima pihak lain selain karyawan, misalnya dalam bentuk jasa profesional, sewa, atau royalti.

Hampir semua transaksi antarperusahaan seperti pembayaran vendor atau konsultan dikenai PPh 23.

Secara umum, ada beberapa ketentuan untuk tarifnya, yakni 2% untuk jasa, sewa alat, atau honor profesional dan 15% untuk dividen, bunga, dan royalti.

Misalnya, jika perusahaan membayar jasa konsultan Rp100 juta, wajib memotong PPh 23 sebesar Rp2 juta sebelum melakukan pembayaran.

Semua potongan ini dilaporkan bulanan melalui e-Bupot 23/26, dan bukti potong dapat dikirim langsung ke pihak penerima jasa sebagai dokumen resmi.

general paper banner

4. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25

PPh 25 adalah angsuran bulanan dari total pajak penghasilan badan (PPh Badan) yang dibayarkan bertahap sepanjang tahun.

Tujuan pajak ini adalah agar beban pajak tidak menumpuk di akhir tahun dan arus kas tetap stabil.

Contohnya, jika total pajak perusahaan tahun lalu Rp120 juta, maka PPh 25 yang dibayar setiap bulan sebesar Rp10 juta. Angsuran ini mengurangi total kewajiban pajak tahunan.

Kamu bisa membayar PPh 25 via e-Billing DJP Online, dengan ketentuan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak atas transaksi barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), yakni perusahaan dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun.

Pajak ini perlu jadi perhatian, karena sering kali menjadi indikator kepatuhan perusahaan karena terkait langsung dengan aktivitas penjualan.

Per Januari 2025 silam, PPN dikenakan tarif 12% sesuai roadmap UU HPP.

Untuk menghitungnya, berikut adalah contoh kasusnya:

Misalnya bisnismu menjual produk senilai Rp10 juta. Maka kamu wajib menambahkan PPN sebesar Rp1,2 juta, memungutnya dari pembeli, lalu menyetorkannya ke kas negara melalui sistem e-Faktur.

PPN juga bisa dikreditkan, artinya pajak masukan (pembelian) bisa mengurangi pajak keluaran (penjualan) untuk menghitung PPN bersih yang harus dibayar.

6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB merupakan ajak atas kepemilikan, pemanfaatan, atau penguasaan tanah dan bangunan, termasuk kantor, pabrik, gudang, dan toko.

Berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), lalu dikalikan tarif yang ditetapkan pemerintah daerah.

Contohnya, jika NJOP Rp1 miliar dan tarif 0,2%, maka PBB = Rp2 juta per tahun.

Pembayaran untuk pajak ini bisa dilakukan melalui Bapenda (Badan Pendapatan Daerah) atau kanal pembayaran resmi seperti e-PBB.

7. Bea Materai

Kadang dilupakan, ada pajak atas dokumen yang memiliki nilai hukum, seperti kontrak, perjanjian, invoice bernilai di atas Rp5 juta, atau dokumen digital bisnis yang disebut bea materai. Tarifnya tetap, yakni Rp10 ribu per dokumen. 

Di era digital ini PERURI sudah memudahkan pembubuhan e-Meterai secara digital yang punya kekuatan hukum sama dengan meterai fisik. 

8. Pajak Daerah dan Retribusi

Bisnis tentu tak lepas dari lokasi operasional. Ada pajak yang dikenakan, yaitu pajak daerah dan retribusi. Pajak ini dikelola pemerintah daerah sesuai lokasi operasional perusahaan dan dikenakan untuk beberapa hal yang berbeda, misalnya:

  • Pajak Reklame untuk iklan luar ruang.
  • Pajak Penerangan Jalan bagi bisnis dengan konsumsi listrik besar.
  • Pajak Restoran dan Parkir bagi sektor F&B dan hospitality.

Tarif tiap daerah bisa berbeda, jadi pastikan kamu meninjau regulasi daerah tempat bisnis beroperasi.

Baca Juga: Pajak Usaha Perorangan: Pengertian, Perhitungan, dan Cara Lapor

Mengelola Pencatatan Bisnis dan Pajak Lebih Efisien dengan Paper

Menangani delapan jenis pajak berbeda tentu tidak mudah. Salah input data atau telat setor bisa berakibat denda. Karena itu, semakin banyak perusahaan kini beralih ke pencatatan keuangan digital agar semua transaksi tercatat otomatis dan siap dilaporkan kapan pun dibutuhkan.

Dengan Paper, kamu bisa:

  • Membuat dan mengirim invoice digital lengkap dengan e-Meterai resmi.
  • Mencatat transaksi penjualan dan pembelian yang relevan pajak yang berlaku.
  • Menyusun laporan keuangan otomatis yang bisa menjadi dokumen pendukung laporan pajak tahunan.
  • Memantau arus kas dan posisi utang/piutang secara real-time untuk menjaga kelancaran setoran pajak.

Paper tidak memiliki afiliasi langsung dengan Direktorat Jenderal Pajak atau lembaga perpajakan mana pun. Namun, dengan pencatatan yang tertib dan transparan di Paper, bisnis kamu akan jauh lebih mudah memenuhi kewajiban pajak dengan benar dan tepat waktu.

Sistem yang rapi bukan hanya membuat audit lebih ringan, tapi juga memperkuat kredibilitas perusahaan di mata mitra, investor, dan regulator.

Yuk, gunakan Paper untuk mempermudah operasional dan kepatuhan pajak bisnismu.

Content Writer dengan 4 tahun pengalaman menangani konten beragam topik di berbagai industri baik B2C dan B2B, termasuk bisnis, ekonomi, keuangan, dan sebagainya. Saat ini menulis di Paper.id untuk memperkaya wawasan pemilik bisnis dan memajukan industri B2B seluruh Indonesia.
Nadiyah Rahmalia