Apabila Anda melakukan transaksi menggunakan smarphone Anda, seperti membeli makanan ataupun memesan ojek, itu berarti Anda merupakan salah satu orang yang menggunakan fintech. Secara umum, Fintech merupakan inovasi di bidang jasa keuangan yang mana tidak perlu lagi menggunakan uang kertas. Dengan kata lain, keberadaan financial technology mengubah mata uang menjadi digital agar lebih efisien.
Di Indonesia sendiri, perkembangan fintech sangat terlihat jelas. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir, tercatat ada lebih dari 180 perusahaan yang mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Walaupun begitu, baru ada sekitar 63 perusahaan saja yang tercatat secara resmi di Indonesia, sedangkan sisanya tengah mengajukan surat konfirmasi tersebut kepada OJK. Kedepannya, bukan tidak mungkin, keberadaan fintech bisa bank konvensional tergusur.
Sebagian besar fintech di Indonesia memang berazaskan secara konvensional. Namun, di tahun 2018 ini, mulai bermunculan beberapa fintech syariah yang menggunakan dasar-dasar dari aturan agama Islam. Lantas, apa perbedaan dari fintech syariah dengan konvensional?
Baca juga : Peran Fintech dalam Digitalisasi Perbankan yang Lebih Mudah dan Efisien
Penjelasan Fintech Syariah
Tak ada perbedaan dengan fungsi dari fintech syariah dengan konvensional. Sebab, kedua jenis tersebut sama-sama ingin memberikan layanan keuangan. Perbedaan dari keduanya hanyalah akad pembiayaan saja yang mana mengikuti aturan-aturan dari syariat islam. Ada tiga prinsip syariah yang harus dimiliki fintech ini yaitu tidak boleh maisir (bertaruh), gharar (ketidakpastian) dan riba (jumlah bunga melewati ketetapan).
Walaupun menggunakan dasar syariah, rujukan dasar juga telah dibuat oleh Dewan Syariah Nasional terkait dengan keberadaan financial technology syariah ini. Dasarnya adalah MUI No.67/DSN-MUI/III/2008 yang mengatur tentang ketetapan apa saja yang harus diikuti lembaga teknologi keuangan terbaru di Indonesia tersebut. Terhitung hingga September 2018, baru ada 4 perusahaan teknologi keuangan syariah yang diresmikan oleh OJK.
Sisanya, ada lebih dari 90% pemain fintech di Indonesia masih berstatus konvensional. Lantas, walaupun berdasarkan syariah, apakah orang yang menunda pembayaran peminjaman akan dikenakan denda? jika berkaca terhadap fatwa Dewan Nasional Syariah, jawabannya iya. No.17/DSN-MUI/IX/2000 mengatur jika sanksi akan diberikan kepada nasabah yang tidak melunasi hutangnya pada tenggat waktu tertentu.
Perkembangan Fintech Berbasis Syariah
Financial Technology sistem syariah pertama kali hadir di Dubai, Uni Emirat Arab. Pada tahun 2014 silam, Beehive berhak mendapatkan sertifikat yang pertama dengan menggunakan pendekatan peer to peer lending marketplace. Hingga saat ini, Beehive menjadi salah satu lembaga teknologi keuangan terkemuka di dunia dengan cakupan pasar yang sangat luas. Berawal dari Beehive, fintech berbasis syariah pun menjalar ke negara Asia lainnya, semisal Singapura dan Malaysia.
Di Malaysia, Hello Gold pun muncul dengan menggunakan teknologi blockchain yang mana juga menggunakan prinsip-prinsip syariah. Secara perlahan tapi pasti, para pemain fintech ini pun juga menjalar ke Indonesia. Semua fintech berasaskan syariat islam itu pun sama, yakni tidak mengunakan riba sehingga diklaim aman sebab bunga yang diberikan sudah sesuai dengan ketentuan islam.
Menurut OJK, sekitar 40% masyarakat di Indonesia masih belum bersentuhan dengan pihak perbankan. Dengan kata lain, jumlah tersebut belum pernah membukan akun apapun di bank nasional. Namun, di sisi lain, hampir semua penduduk di tanah air telah memiliki smartphone. Jadi kesimpulannya, keberadaan fintech memang bisa menjadi ancaman bagi bank konvensional yang belum mengikuti perkembangan jaman, yakni menggunakan teknologi ke dalam sistem keuangannya.
Baca juga : Dunia Fintech Awards 2020, Paper.id Raih Startup Software as a Service Terbaik
Konsep Akad Fintech Bidang Syariah
Sebagai lembaga pengawas, OJK memang belum memberikan regulasi pasti terhadap keberadaan perusahaan teknologi keuangan berbasis syariah. Jadi, aturan fintech konvensional dan syariah masih sama. Namun, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa jika para fintech syariah harus mengikuti aturan dalam islam, salah satu yang menjadi masalah terpenting adalah riba atau bunga yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Selain masalah riba, akad dalam fintech ini juga harus sesuai dengan akad mudharabah dan musyarakah.
Akad Mudharabah: Teknik kerja sama antara pemilik modal dan pengelola dana. Kedua pihak tersebut akan saling bertemu dan menentukan berapa besaran keuntungan yang akan dibagi secara adil. Namun, apabila ada kerugian, pemilik modal harus bertanggung jawab kecuali keteledoran yang dilakukan oleh pihak pengelola dana.
Akad Musyarakah: Teknik kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang mana menggunakan sistem bagi rata. Dengan kata lain, si pemilik modal dan pengelola dana akan mendapatkan keuntungan yang sama sesuai dengan kesepakatan awal. Namun apabila ada kerugian, kedua pihak juga harus bertanggung jawab dengan beban yang sama.
- Kelebihan dan Kekurangan Virtual Credit Card Dibandingkan Kartu Kredit Fisik - Oktober 3, 2024
- AP Automation Cost dan Dampaknya Dalam Mengurangi Anggaran Bisnis - September 24, 2024
- Cashback s.d Rp250 Ribu Dengan Visa Commercial Card! - September 20, 2024