Apa yang pertama ada di dalam pandangan Anda mengenai bekerja di perusahaan? menggunakan kemeja lengkap dengan jas plus dasi terjuntai? jika iya, berarti Anda merupakan bagian dari pekerja konvensional. Mengapa begitu? karena saat ini, banyak perusahaan, khususnya start up atau rintisan, telah memberikan kebebasan bagi para pekerja untuk berpakaian casual, edgy dan lebih santai.

Apa itu pekerja dengan gaya casual? Pekerja yang tampil lebih bebas dengan menggunakan dress code santai, seperti baju atau kaos, celana khaki dan dikombinasikan dengan sepatu kets. Biasanya, pekerja yang berdandan seperti ini berasal dari generasi milenial yang baru saja memasuki dunia kerja. Namun sayangnya, tidak semua perusahaan memberikan kebebasan seperti itu.

Berbeda dengan perusahaan konvensional yang menerapkan pemakaian busana formal, ada beberapa sektor yang telah menerapkan busana casual, contohnya adalah agensi periklanan dan media. Meskipun keduanya seringkali bertemu dengan klien atau narasumber, mereka lebih bebas dan tidak terlalu terikat dengan peraturan yang menyusahkan.

Sebuah survey mengatakan jika 79% generasi remaja milenial menginginkan jika para perusahaan konvensional mengubah mindset mereka tentang gaya berbusana. Jelas saja, para fresh graduate meminta hal demikian karena mereka memang masih awam dalam dunia kerja sehingga merasa risih apabila harus menggunakan dress code yang terlalu formal dan mengikat.

Tetap saja, terlepas dari busana apa yang dipakai sehari-hari ke dalam kantor, produktivitas Anda dalam menyelesaikan pekerjaan masih menjadi konsentrasi utama. Lantas, apakah ada korelasinya antara peningkatan performa seorang pekerja dengan busana casual?

Takut Tidak Profesional

Bagi para pegawai yang biasa mengenakan pakaian formal, melihat pekerja dengan gaya casual merupakan sebuah keanehan karena dianggap tidak sesuai dengan kode etik dalam bekerja. Bahkan, mereka cenderung akan berpikiran apakah dengan mengenakan baju polo bisa dianggap sebagai bekerja? Atau, yang lebih anehnya lagi, apabila tidak menggunakan kemeja, bagaimana caranya mereka bisa bertemu dengan klien saat meeting?

Banyak dari para pegawai tersebut menganggap jika penggunaan kaos oblong dan celana jeans dalam bekerja menunjukan jika mereka bukanlah orang yang profesional.

Lebih lanjut, ada sebuah survei baru dari careerbuilder yang mengatakan jika 93% orang lebih suka menggunakan pakaian formal. Sebab, dengan gaya berbusana tersebut, bos atau atasan mereka menganggap seorang profesional dan berpeluang besar mendapatkan promosi ke posisi yang lebih tinggi. Tentunya, gaji yang mereka dapatkan juga akan lebih besar dari sebelumnya.

Jika para pekerja kantoran menganggap penggunaan gaya busana casual tidak profesional, bagaimana dengan para pencari kerja? apa yang mereka benar-benar mereka inginkan ketika bekerja di perusahaan baru? jawabannya cukup unik.

Berdasarkan data yang diambil dari studi stormline, sekitar 61% orang pencari kerja menganggap dress code dalam bekerja merupakan sebuah keanehan. Persepsi tersebut diambil karena mereka lebih menginginkan gaya busana yang santai. Bahkan, mereka menambahkan dengan itu, produktivitas mereka dalam bekerja akan semakin meningkat.

Pekerja dengan Gaya Casual, Bermula dari Mana?

Fenomena pekerja dengan gaya casual sejatinya bermula dari Sillicon Valley, sebuah wilayah di Amerika Serikat dimana tempat berkumpulnya perusahaan start up terkemuka di dunia. Bisa dibilang, tempat ini merupakan surganya para pencari kerja di bidang teknologi. Tercatat, ada beberapa perusahaan besar yang bermukim di sana, seperti Oracle, Yahoo! bahkan hingga raksasa Google.

Menurut The Economist, penggunaan kaos dilengkapi hoodie dan sepatu kets merupakan kebiasaan para pekerja di Sillicon Valley. Bukan hanya para pegawainya saja, para CEO atau Founder di sana juga sangat suka tampil santai dengan setelan casual. Tren tersebut dengan cepat tersebar ke seluruh dunia dan menganggap jika inilah gaya terbaru dalam berbusana di dunia kerja.

Wajar saja banyak petinggi perusahaan di Sillicon Valley bergaya seperti itu sebab banyak dari para pemiliknya merupakan anak muda yang berusia rata-rata 20-40 tahunan. Sebut saja nama Evan Spiegel, CEO Snapchat, Mark Zuckerberg CEO Facebook dan Instagram atau bahkan Jack Dorsey yang merupakan penemu dari media sosial Twitter. Tak sulit menemukan mereka semua di sini dengan gaya yang santai.

Para CEO muda ini memang menganggap jika hidup sesungguhnya adalah dengan memberikan kemudahan terhadap orang lain. Jika dengan berpakaian sederhana dapat meningkatkan kinerja para pegawainya, mengapa harus repot menyuruh mereka menggunakan pakaian formal?

Mark Zuckerberg, Antara Kaos Oblong dan Kontroversi

Mark Zuckerberg - Dawn.com
Mark Zuckerberg – Dawn.com

Siapa bilang pekerja dengan gaya casual tidak bisa produktif? coba Anda Mark Zuckerberg. Pria yang dikeluarkan dari Universitas Harvard ini bahkan jarang dan cenderung tidak pernah menggunakan formal. Jika di dalam sebuah acara atau seminar, suami dari Priscillia ini kerap kali mengenakan kostum yang sama, yakni baju berwarna abu-abu plus celana jeans.

Jika Anda perhatikan di setiap kesehariannya, Mark selalu menggunakan setelan yang sama. Usut punya usut, ia memang suka mengoleksi kaos yang sama. Bahkan, rekan dari Eduardo Saverin ini pernah memposting lemarinya yang penuh dengan kaos berwarna hitam.

Karena kebiasaanya mengenakan baju polos tersebut, banyak yang menganggap jika Mark Zuckerberg tidak sopan dan buruk dalam memilih selera fashion yang diinginkan. Di tengah-tengah dilema tersebut, pria berusia 32 tahun ini memberikan alasan kenapa hanya mempunyai satu merk yang sama di lemarinya.

“Memikirkan baju apa yang hendak dipakai dan menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan adalah tindakan bodoh dan membuang-buang waktu,” kata Zuckerberg terkait dengan kontroversinya mengenakan kaos serupa di setiap kesempatan.

Apa yang dikatakan oleh Mark bisa dibilang tidak salah. Terlebih lagi, ia merupakan salah satu orang yang sangat sibuk dengan jadwal harian yang pastinya sangat padat. Dari pada bingung dan merasakan kelelahan akibat memilih baju, lebih baik mengenakan satu kaos yang sama untuk setiap kegiatan. Para ahli biasanya menganggap hal tersebut sebagai decision fatigue.

Stereotip dalam dunia kerja

Kaos oblong yang kerap kali digunakan oleh Mark Zuckerberg juga menciptakan sebuah ciri khas sendiri. Betapa tidak, karena hal tersebut, ia berhasil mengubah pandangan jika seorang pemilik usaha tidak harus lagi tampil formal dengan menggunakan kemeja dan jas ketika harus meeting dengan klien. Mark membuktikan gaya busana casualnya tersebut tidak membuatnya kehilangan para investor saham yang siap memberikan suntikan dana besar ke Facebook dan Instagram.

Menurut The Journal of Consumer Research, fenomena tersebut dikenal sebagai The Red Sneaker Effects. Dengan kata lain, stereotip akan terjadi kepada seseorang tergantung dari busana atau cara berpakaian orang itu sendiri.

Misalnya, jika ada seseorang yang berambut botak dan menggunakan kacamata besar, mereka akan dianggap sebagai profesor. Sedangkan, jika seseorang memiliki berbadan tegap dan berkulit hitam legam, merupakan seorang Polisi atau TNI. Namun, apakah hal itu bisa dipukul rata secara keseluruhan? tentunya tidak.

Pekerja Casual Lebih Produktif?

Berdasarkan beberapa survey di atas, apakah pekerja dengan gaya casual lebih memilih dampak bagus terhadap pekerjaan? jawabannya adalah relatif.

Andrew Johnson, seorang konsultan bisnis, mengatakan jika busana yang digunakan ke dalam dunia pekerjaan sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap kesuksesan dan produktivitas seorang pekerja. Jadi, bagaimanapun pakaiannya, pekerja itu sendiri yang menentukan apakah dia mampu bekerja secara maksimal atau tidak.

Berbeda dengan Andrew, Jensen, mengemukakan jika setiap perusahaan atau bos bersaing untuk memberikan lingkungan kerja senyaman-nyamannya bagi para pekerja. Mereka ingin untuk menyediakan sebuah tempat yang nyaman dan bersahabat sehingga produktivitas dalam bekerja semakin meningkat. Namun, mereka tidak menginginkan jika para pekerja berpakaian terlalu casual karena dianggap menyalahi aturan dan tidak menjunjung tinggi profesionalitas.

“Apa yang kita gunakan sehari-hari dalam pekerjaan, dapat meningkatkan tingkat kefokusan dalam pekerjaan sehari-hari,” kata Mike Slepian, seorang dosen di Columbia Bussines School dan juga penulis buku dari “The Cognitive Consequence of Formal Clothing”.

Mike Slepian kemudian menambahkan jika seorang pekerja dengan gaya casual adalah orang yang dapat berpikir lebih abstrak namun konkret sehingga ide dan kreativitas yang dimunculkan menjadi out of the box dan menarik untuk digunakan.

Daniel Nugraha